Breaking News

Apakah Penggunaan DBH CHT Sudah Optimal untuk Kesejahteraan Petani Tembakau Virginia dan Rajang di Provinsi NTB Tahun 2024?

 

Budidaya tembakau oleh petani di Pulau Lombok telah dilakukan secara turun-temurun, diwariskan oleh nenek moyang mereka. Proses produksi tembakau dimulai dari pembibitan benih, pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengeringan, hingga penyimpanan yang masih dilakukan secara tradisional. Dahulu, penanaman tembakau hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, namun kini telah menjadi komoditas perdagangan yang memiliki tata niaga yang lebih maju. Aktivitas pertanian tembakau, mulai dari produksi, pengolahan hasil, pemasaran, hingga aktivitas lain yang berkaitan, kini dikenal dengan konsep agribisnis.

 

Tembakau kini menjadi salah satu komoditas unggulan di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, yang menjadi pusat budidaya tembakau Virginia dan Rajang. Para pelaku ekonomi yang terlibat dalam agribisnis tembakau Virginia dan Rajang telah berkontribusi pada peningkatan pendapatan daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Dana ini telah diberikan dalam jumlah yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. DBH CHT merupakan bagian dari transfer dana ke daerah yang diberikan kepada provinsi penghasil cukai dan/atau provinsi penghasil tembakau. Besaran rincian DBH CHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, dan berikut adalah pengalokasian dana DBH CHT dari tahun 2022 hingga 2024.

Tabel Rincian Pengalokasian DBH CHT ke Provinsi dan Kabupaten/Kota tahun 2022-2024 (Satuan dalam Ribuan)

No

Nama

2022

2023

2024

Jumlah

1

Prov. NTB

98,780,735

126,293,736

122,447,546

347,522,017

2

Bima

  11,658,725

17,574,481

17,041,802   

46,275,008              

3

Dompu

6,092,381      

18,886,221      

18,054,273      

43,032,875                

4

Lobar

17,278,184        

19,518,820      

19,464,091      

56,261,095                

5

Loteng

57,757,461      

71,149,670      

72,015,101      

200,922,232                

6

Lotim

62,802,612      

78,304,028      

78,629,013      

219,735,653              

7

Sumbawa

11,781,632      

18,327,050      

17,651,092      

47,759,774              

8

Mataram

50,678,326      

70,858,497      

62,741,138      

184,277,961                

9

Kota Bima

3,513,383      

17,542,575      

17,008,771      

38,064,729              

10

KSB

3,308,890        

17,555,175      

17,029,225      

37,893,290                

11

KLU

5,616,788        

17,591,256      

17,096,247      

40,304,291                

 

Total

329,269,117        

473,601,509      

459,178,299      

1,262,048,925                

 

Dana DBH CHT dialokasikan ke masing-masing daerah kabupaten/kota dan provinsi berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, sehingga daerah tidak dapat melakukan protes terhadap pemerintah provinsi NTB, begitu pula dengan penggunaannya yang telah diatur oleh Menteri Keuangan. Setiap tahun, rincian DBH CHT dapat mengalami revisi, yang berdampak pada besaran penerimaan dan penggunaannya yang dapat berubah, tergantung pada kepentingan pemerintah nasional. Kepala daerah, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan DBH CHT, memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas pembangunan daerah mereka.

Di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah, sektor pertanian memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), serta sebagai penyedia lapangan pekerjaan di pedesaan. Hal ini dapat meningkatkan pendapatan buruh tani dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian dalam hal anggaran investasi masih tergolong rendah, seperti yang tercermin dari besaran anggaran yang dialokasikan untuk Dinas Pertanian dan Perkebunan. Pelaku ekonomi di sektor perkebunan dan pertanian seharusnya menjadi fokus pembangunan yang dapat dibiayai melalui dana DBH CHT.

Kontribusi sektor primer, terutama pertanian, memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan sektor sekunder dan tersier di pedesaan, yang pada gilirannya akan berdampak pada kemajuan dan kesejahteraan penduduk di daerah tersebut. Komoditas unggulan Provinsi NTB, salah satunya tembakau, memiliki luas areal tanam terbesar di Kabupaten Lombok Timur dan disusul oleh Kabupaten Lombok Tengah. Seharusnya, para pelaku ekonomi di sektor pertanian tembakau ini mendapatkan perhatian dan afirmasi dari dana DBH CHT.

Luas areal tanaman tembakau di Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2023 mencapai 12.000 hektar dan diperkirakan akan meningkat menjadi 14.000 hektar pada tahun 2024. Di Kabupaten Lombok Timur, luas areal tembakau pada tahun 2023 mencapai 18.760 hektar, dan diperkirakan akan bertambah luas pada tahun 2024. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTB, luas areal tanam tembakau Rajang pada tahun 2024 mencapai 10.780,57 hektar dengan total produksi sekitar 14.851,48 ton, sementara untuk tembakau Virginia Krosok, luas arealnya mencapai 23.731,70 hektar dengan produksi sekitar 45.716,43 ton. Dengan meningkatnya produktivitas dan kualitas tembakau Lombok, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan DBH CHT yang pada akhirnya berimbas pada kesejahteraan petani tembakau di Lombok.

DBH CHT terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, pada tahun 2022, dana DBH CHT untuk Provinsi NTB sebesar Rp 329,27 miliar, pada tahun 2023 meningkat menjadi Rp 473,60 miliar, dan pada tahun 2024 sebesar Rp 459,18 miliar. Total dana DBH CHT yang diterima Provinsi NTB dalam kurun waktu 3 tahun mencapai lebih dari 1,2 triliun rupiah. Pertanyaannya adalah, seberapa besar dampak dari dana ini terhadap kesejahteraan petani tembakau, yang merupakan produsen utama komoditas ini? Bila melihat keterbatasan sarana irigasi, jalan usaha tani, pengangguran, tingkat kemiskinan, serta jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan yang belum merata, seharusnya petani tembakau menjadi prioritas dalam penganggaran dana DBH CHT oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Provinsi NTB.

Merujuk pada beberapa Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, seperti PMK No. 222/PMK.07/2017 dan PMK No. 215/PMK.07/2021, penggunaan DBH CHT diatur untuk mendanai program atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas bahan baku, yang memberikan peluang untuk mendukung pelaku ekonomi di sektor pertanian tembakau Virginia. Program ini juga bertujuan untuk membantu petani yang menghadapi kendala seperti kesulitan permodalan, mahalnya harga dan langkanya pupuk, yang seharusnya bisa diatasi dengan penggunaan dana DBH CHT.

Pada PMK No. 222/PMK.07/2017, Pasal 6 Ayat 1 menyebutkan bahwa program peningkatan kualitas bahan baku tembakau mencakup beberapa kegiatan, antara lain penerapan pembudidayaan sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP) tembakau, penanganan panen dan pasca panen, serta dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau. Oleh karena itu, pemerintah daerah memiliki ruang yang luas untuk menjalankan program yang dapat meningkatkan kualitas produksi tembakau, yang akan berdampak pada kesejahteraan petani.

Selain itu, PMK No. 215/PMK.07/2021 Pasal 4 mengatur bahwa dalam pelaksanaan penggunaan DBH CHT, kepala daerah harus membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator untuk pengelolaan DBH CHT, guna memastikan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan DBH CHT di wilayahnya. Program peningkatan kualitas bahan baku untuk mendukung kesejahteraan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1), meliputi kegiatan pelatihan, penanganan panen, penerapan inovasi teknis, serta dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau.

Pelibatan berbagai stakeholder, seperti Kelompok Tani, penggiat petani tembakau, dan perguruan tinggi, sangat penting dalam tata niaga pertanian tembakau di Pulau Lombok, NTB. Hal ini untuk menjaga kualitas dan daya saing tembakau Lombok, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan petani. Tata niaga tembakau di Lombok yang melibatkan petani sebagai produsen, yang memproduksi dan mendistribusikan tembakau kepada konsumen, telah terbukti membantu mengurangi kemiskinan di wilayah pedesaan.

Tantangan selanjutnya adalah penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, mengingat pentingnya ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan yang sedang dicanangkan secara global. Diharapkan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dapat memperhatikan hal ini dan berinovasi dalam menjaga keberlanjutan pembangunan pertanian.

Oleh Dr. Suparlan, SE., M.Sc.

(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram,
Email: suparlan23@staff.unram.ac.id)

 

 

0 Comments

© Copyright 2023 - Suara Konsumen Indonesia