Breaking News

Tokoh Lintas Agama Deklarasikan Pentingnya Isu Kesehatan Jiwa dan Bunuh Diri


Lombok Barat- Belakangan ini Isu Kesehatan Jiwa menjadi isu yang cukup mendapat perhatian oleh masyarakat Indonesia.  Problem kesehatan jiwa dipandang sebagai aib yang terus disembunyikan, tetapi menjadi masalah kemanusiaan yang perlu segera ditangani karena situasinya darurat.


Himbauan terkait Isu Kesehatan Jiwa menjadi suatu masalah yang tidak boleh disepelakan di masyarakat. Oleh karena itu melalui acara Sarasehan Isu Kesehatan Jiwa Bersama Tokoh Lintas Agama yang diselenggarakan oleh YAKKUM bersama Black Dog Institute dan Emotional Health For All di Lombok, 2-3 Juni 2022 di tujukan untuk memperlihatkan keberpihakan mereka pada kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri serta pentingnya mencari dan menyediakan dukungan yang tepat bagi orang dengan masalah kesehatan jiwa.


Dr Sandersan Onie, peneliti dari Black Dog Institute,  memaparkan dampak masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dimana Indonesia mengalami kerugian kurang lebih Rp 582 triliun (setara dengan 4% GDP), setiap tahunnya karena masalah kesehatan jiwa yang tidak tertangani dengan baik.

"Dampak lain yaitu penggunaan obat-obat terlarang (narkotika) dan tumbuh kembang anak-anak yang memiliki masalah di sekolah karena dibesarkan oleh ibu dengan masalah depresi kronis tanpa penanganan yang memadai" Ungkap Dr Sandersan Onie.


Ia juga menambahkan bahwa di Indonesia, Direktur Kesehatan Mental dari Kementerian Kesehatan mencatat bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian tertinggi kedua bagi individu di usia remaja akhir. Lebih lanjut, WHO mencatat bahwa angka yang dilaporkan di Indonesia jauh lebih rendah daripada jumlah yang sebenarnya. Lebih dari itu, percobaan bunuh diri yang dilakukan dapat 25-30 kali lebih banyak dari kasus bunuh diri yang terjadi.

Selain itu, untuk setiap kematian karena bunuh diri, terdapat paling tidak 135 orang yang terkena dampaknya dalam bentuk trauma mendalam bagi orang terdekat, kehilangan asuhan atau pencari nafkah, kesedihan berkepanjangan, dan berpotensi menjadi ide bunuh diri  berikutnya. "Ini adalah sebuah fenomena yang disebut sebagai penularan bunuh diri, di mana individu yang pernah mendengar kasus bunuh diri di sekitarnya memiliki kemungkinan lebih besar melakukan tindakan bunuh diri juga. Jika terjadi pada usia remaja, masalah kesehatan jiwa dapat berlanjut hingga dewasa, dan berpengaruh pada kualitas hidup mereka serta mempengaruhi kualitas hidup generasi keturunan berikutnya" Tambahnya.

Banyaknya jumlah orang yang mengalami depresi dan angka kasus bunuh diri yang semakin meningkat selama pandemi tentu merupakan kondisi yang memperihatinkan. Ini menunjukkan betapa luasnya masalah ini.  Namun, yang jauh lebih memperihatinkan adalah jika masyarakat tidak merespon dengan mengambil langkah-langkah untuk menunjukkan kasih sayang dan keberpihakan pada mereka yang berhadapan dengan depresi dan pemikiran bunuh diri. Karena berbagai stigma keagamaan di Indonesia yang terkait dengan bunuh diri, banyak individu yang tidak sadar ketika mengalami depresi, tidak terbuka untuk berbicara tentang masalah yang dialami atau segan untuk mencari bantuan.

 
"Jika kita ingin sungguh-sungguh mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang kuat, maka masalah -masalah kesehatan jiwa tersebut perlu segera disikapi" tandas Dr Sandersan Onie. 

Selain Dr Sandersan Onie, Dr Edduwar Idul Riyadi dari Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Ditjen P2MKJN) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga mengingatkan bahwa stigma dan  diskriminasi pada orang dengan masalah kejiwaan adalah salah satu tantangan terbesar yang harus disikapi, dan para pemimpin agama punya peran utama untuk mengurangi stigma terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan.

KH. Sarmidi, Katib Syuriyah PBNU juga turut menyampaikan di Nahdatull Ulama sudah memutuskan dalam PBNU bahwa tidak lagi menyebut orang dengan masalah Kesehatan Jiwa dengan Majnun (Orang Gila) namun, mengganti dengan Muqtala (Orang yang sedang dalam cobaan). Pernyataan tersebut diperkuat oleh I Wayan Sianto, Ketua Walubi Provinsi Nusa Tenggara Barat bahwa masalah kesehatan jiwa bukanlah hal yang memalukan, Lingkungan dan keluarga berperan untuk mendampingi orang dejgan masalah kesehatan jiwa, karena keluarga adalah benteng utama.

Sementara itu Rm. Y. Aristanto, Komisi Waligereja Indonesia menambahkan bahwa, Ada perubahan paradigma dimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dan bunuh diri dianggap dosa, saat ini Gereja Katolik telah mengubah perspektif tersebut dengan belas kasih dan penderitaan yang menyelamatkan. Bagaimana orang dengan masalah kesehatan jiwa dibantu untuk memiliki pengharapan.

0 Comments

© Copyright 2023 - Suara Konsumen Indonesia